Disharmonis Tidak Bisa Jadi Alasan PHK: Negara Wajib Menjamin Hak Bekerja

![]()
Jakarta. Suarametropolnews | Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI-KSPI) menyelenggarakan Seminar Hukum Ketenagakerjaan bertema “Disharmonis, Ancaman Kaum Buruh” pada Selasa (2/12/2025). Seminar ini menegaskan kembali satu prinsip mendasar yang harus dipahami semua pihak. Bahwa disharmonis dalam hubungan kerja, apa pun bentuknya, tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.
Pimpinan Pusat FSPMI–KSPI, Abdul Bais, menegaskan bahwa hak bekerja adalah hak konstitusional, dijamin oleh UUD 1945 dan dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena itu, PHK hanya boleh dilakukan berdasarkan alasan yang secara tegas diatur undang-undang, bukan berdasarkan persepsi subjektif, penilaian sepihak, atau kebijakan internal perusahaan.
“Kami ingin mengingatkan seluruh pihak: disharmonis bukan alasan PHK. Negara sudah mengatur dengan jelas. Jika alasan ini dibiarkan, maka setiap pekerja akan berada dalam ketidakpastian,” tegas Abdul Bais.
Penegasan ini juga sejalan dengan surat resmi Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tertanggal 5 Juni 2012, Nomor B.340/PHIJSK/VI/2012. Dalam surat itu ditegaskan bahwa PHK tidak dapat dilakukan berdasarkan peraturan di bawah undang-undang, apalagi alasan-alasan yang tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Surat ini menunjukkan bahwa sejak lama pemerintah pun mengakui, PHK sepihak yang tidak berlandaskan undang-undang adalah tindakan yang tidak sah.
FSPMI menilai bahwa penggunaan alasan “disharmonis” merupakan bentuk penyimpangan terhadap hukum ketenagakerjaan. Ketidakharmonisan adalah hal yang dapat muncul di setiap hubungan kerja dan bukan dasar hukum untuk mengakhiri hubungan kerja. Konstitusi tidak pernah memberi ruang bagi PHK yang tidak melalui proses hukum.
“Kalau disharmonis dijadikan alasan, maka hubungan industrial berubah menjadi alat represi. Ini preseden buruk bagi demokrasi di tempat kerja,” ujar Abdul Bais.
Pasal 28D UUD 1945 menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sementara Pasal 28J menegaskan bahwa pembatasan hak hanya boleh dilakukan melalui undang-undang. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi perusahaan atau pejabat mana pun untuk menciptakan alasan PHK di luar yang telah ditentukan undang-undang.
Seminar ini juga menggarisbawahi bahwa praktik PHK karena disharmonis bertentangan dengan prinsip negara hukum. Ketika perusahaan menjadikan disharmonis sebagai dalih untuk memberhentikan pekerja atau aktivis serikat, maka yang diserang bukan hanya pekerjanya, tetapi juga konstitusi, kepastian hukum, dan nilai-nilai demokrasi di tempat kerja.
FSPMI menyerukan agar Pemerintah menegakkan supremasi hukum ketenagakerjaan, memastikan tidak ada PHK yang dilakukan tanpa putusan lembaga penyelesaian perselisihan, serta menindak tegas perusahaan yang menjadikan disharmonis sebagai alasan pemutusan hubungan kerja.
Dalam situasi hubungan industrial yang semakin kompleks, negara tidak boleh membiarkan disharmoni dijadikan alat untuk merampas hak bekerja. PHK hanya sah apabila memenuhi seluruh prosedur dan alasan hukum yang diatur undang-undang. Selain itu, setiap pembatasan aktivitas serikat, intimidasi, dan tindakan union busting merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
“Pekerja tidak boleh menjadi korban tafsir sepihak. Hukum sudah memberikan batasan yang jelas. Negara wajib hadir menegakkan itu,” tegas Abdul Bais.

Dalam Pasal 151 Undang-Undang Ketenagakerjaan, semua pihak diwajibkan untuk sungguh-sungguh mencegah terjadinya PHK. Bahkan dalam UU Cipta Kerja sekalipun, tidak ditemukan ketentuan yang membenarkan PHK dengan alasan “disharmonis”. Dengan demikian, alasan disharmonis tidak dapat dijadikan dasar pemutusan hubungan kerja dalam bentuk apa pun.
Narahubung: Ketua Departemen Media dan Komunikasi KSPI, Kahar S. Cahyono
WhatsApp: 0811-1148-981
E-mail: kahar.mis@gmail.com
Pewarta : Din